Assalamualaikum, Cara meliput berita untuk jurnalis baru, Ini 5 Tips nya- aliaefcom
Untuk mahasiswa fresh graduate, baru bekerja, jadi wartawan pula, pastinya akan kebingungan apa yang harus dilakukan ketika di lapangan. Mau tanya apa? Harus bersikap gimana? Kalau narasumber nggak mau ngomong harus gimana? Kalau nggak dapat berita gimana? Trus gimana menulis berita yang sesungguhnya?
I feel you bro, sis.
Saya juga dulu begitu. Apalagi kalau ketemu narasumber yang bahasanya berat. Langsung migren mendadak.Sampai malam belum jadi juga satu berita karena bingung cari angle, bagian mana yang bagus untuk dijadiin lead, nulisnya udah bener apa gak. Malah hampir hopeless. Bolak balik tanya redaktur, kalau salah nulis dipanggil pake dibentak lagi. Trus nulis lagi dari awal.
Saya kasih insight supaya nggak bingung-bingung amat ketika jadi wartawan baru:
1. Biasanya yang pertama kali bekerja menjadi wartawan akan diberi tugas ringan. Biasanya mengasah tulisan dulu, salah satunya dengan translite berita luar negeri. So, harus ngerti dikitlah bahasa Inggris meski ada google translate. Udah pernah pakai google translate kan? Pasti kacau banget kalau dibaca ulang. Apalagi penggunaan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia gak plek sama. Jadi kita harus tahu dasarnya dalam menulis berita dan mengerti isu yang ditulis secara garis besar dari media luar itu. Jadi paham ini berita mengenai apa, news value di mana.
Baca:
Mau Jadi Jurnalis? Ini Syarat Pentingnya
2. Setelah menulis berita translite, kadang diajak liputan bareng dengan wartawan senior, istilahnya didampingi. Biasanya, untuk awal diajak untuk mengamati ketika janjian wawancara dengan narasumber. Biar nggak bego-bego amat, lebih baik brosing dulu latar belakang si narsum itu. Isu terkininya apa. Lalu, jangan sok-sok an mencecer pertanyaan. Jadi wartawan baru itu santai aja, cool, jangan banyak gaya, wartawan senior atau redaktur bakal enek lihatnya juga. Amatin aja dulu alur jalannya wawancara, kalau misalnya penting ada yang ingin ditanyakan, ajukan dengan sopan. Jangan diem juga, karena dari sini si wartawan senior akan menilai sebagus apa kamu menjadi seorang wartawan. Pertanyaanya jeli gak, kritis gak, masuk ke tema wawancara atau gak dan sebagainya.
Tapi ketika narsum bicara off the record, kita harus hargai itu dengan cara tidak ditulis atau dibocorkan. Kalau sampe nekat, bisa dituntut.
3. Liputan ke press conference.
Nah ini juga liputan enak, berbekal undangan yang diberikan kantor. Datang, duduk, makan enak, dapet souvenir, dengerin materi yang disampaikan, lalu ditulis. Ini juga penting, sebelum press conferece baca dulu press release yang diberikan ketika kita registrasi, ketika masuk ruangan. Dibaca dulu, dimengerti apa maksudnya. Lalu kalau ada yang mengganjal bisa ditanyakan ketika masuk sesi tanya jawab.
Sering banget ketemu wartawan ketika press conference, caper dengan bertanya. Cieee gayanya sok iye banget. Angkat tangan, berdiri, terus tanya dengan suara kenceng, berasa pertanyaanya udah kritis. Eh ternyata jawabannya udah ada di press release. Malu-maluin kan.
Biasanya kalau ada wartawan berani malu begini, demi mencari perhatian ke narsum, ternyata itu wartawan bodrek (Kapan-kapan kita bahas yuk). Wartawan bodrek itu cuma cari goodibag sama makan siang gratis, apalagi di jaman media digital sekarang. Gampang banget bikin media online, tanpa kita tahu personilnya beneran wartawan atau orang biasa yang ngaku wartawan. Nah, kamu nggak maukan di cap wartawan bodrek. Kuliah mahal-mahal masa dibilang bodrek.
4. Supel. Coba berbaur dengan teman sesama wartawan di lapangan. Menjadi wartawan itu bagian asik dan serunya itu ketika ketemu teman-teman wartawan lain dari media yang berbeda. Kerjaan yang tadinya bikin stres jadi ringan karena diselingi dengan ketawa terus. Serius. Makanya saya paling suka ke lapangan karena bakal ketemu teman-teman, kerja sambil ngeriung itu paling seru.
Positifnya kenal banyak teman adalah kita bisa tahu isu terbaru, liputan, kontak narsum,banyak hal lain. Pastinya link dan konektivitas. Meski kita kerja di media besar, jangan sok nggak mau kenal dengan teman media lain. Banyak kasus wartawan dari media besar, dia cuma pilih-pilih teman. Atau nggak mau berbaur dengan yang lain. Berasa medianya paling ekslusif. Padahal dunia wartawan itu kecil, meski beda desk. Itu bakal ditandain sama wartawan lain kalau ada yang kayak gitu dan males juga dideketin untuk berteman. Padahal kita saling membutuhkan, wong sama-sama kerja di media kok.
Baca:
- 9 Hikmah #DirumahAja Karena Wabah Covid-19
- Ke Gunung Uludag Turki, Indahnya Kota Bursa
- 6 Hal yang Perlu Diwaspadai Jika Pergi ke Luar Negeri
- Ke Turki Lebih Baik Membawa Dolar US, Lira atau Rupiah?
- Penerbangan Panjang ke Turki
5. Berteman dengan Narasumber
Masa sih? Emang bisa? Bisa banget. Nggak sedikit wartawan dan narasumber akhirnya jadi berteman dekat atau bahkan sahabat. Berteman dengan narsum itu yang paling menyenangkan, simbiosis mutualisme. Sama-sama menguntungkan, kalau kita butuh dia untuk sebuah isu, dia mau aja karena kedekatan emosional itu. Tapi kita sebagai wartawan juga harus punya sikap, meski dekat dengan narsum jangan mau aja semua berita tentang dia atau perusahannya kita tulis. Nop!
Profesionalisme itu penting. Kalau narsum yang bener itu bakal paham, dia nggak akan ambil keuntungan dari pertemanan itu. Tapi nggak sedikit narsum yang mau enaknya aja. Ketika butuh kita, dia berbaik-baik banget. Pas kita butuh dia, susah banget dihubungin. Nah, narsum kayak gini mending jangan dibuat terlalu ikrib.
Semoga Bermanfaat
Alia Fathiyah
No comments