Sekitar sebulan lalu seorang teman
wartawan senior menulis di status Facebooknya begini:
“Mau tanya aza blogger itu wartawan
bukan ya, #tanya doangcui”
Langsung beragam komentar muncul yang
kebanyakan curhat dari beberapa wartawan dan pandangannya soal blogger.
Well, sekarang ini memang jika ada
acara jumpa pers atau press conference atau media gathering pasti terselip
blogger. Dulu, sebelum blogger booming, wartawan yang sudah saling mengenal
satu sama lain, pasti akan memandang blogger aneh dan menganggap mereka
wartawan bodrex (wartawan gak punya media).
Tapi sekarang, blogger sudah diakui
menjadi sebuah profesi penting (yeay), membantu brand atau produk untuk promosi dan publikasi.
Nih, gue tulis di sini beberapa
komentar dari wartawan dari status FB itu. Yang kebaca jelek, jangan baper ya
hey blogger.. tolong jadikan kritikan untuk perbaikan ke depannya.
Akun Z : Gayanya kadang melebihi
wartawan senior, kalau nanya suka nggak nyambung.
Akun B : Kadang kalo nanya oon,
kelakuan dan attitudenya mempriatinkan.
Akun DS: Kalo di Barat blogger juga punya pengaruh layaknya
jurnalis mainstream. Mereka bekerja utk blognya sendiri dan hidup dari iklan.
Ada blogger fashion, film, traveling, kuliner, entertainment. Nah kalo di
indonesia sudah seperti di Barat, itu gue belum tau. Di kalangan blogger
travel dan kuliner di Indonesia banyak lho pelaku nya yang eksis dan hidup dari
blog tsb. Salah satunya Mariska Prudence, mantan reporter news Metro TV yang
kini sukses sebagai blogger travel. Blog nya disponsori oleh Garuda Indonesia.
Akun ABS, wartawan senior dan ageny: kalo cara
kerjanya sama, apakah itu wartawan, jurnalis, reporter, pewarta atau blogger
sekalipun. hanya yg membedaka antara saya sebut saja dgn bahasa pewarta dan
blogger, begitu hail tulian di publish di medianya. disinilah ada yg membedakan.
Akun DM yang dikenal juga sebagai pengamat musik: Hmmm...gw
sekarang bs dibilang blogger. Tetap ckp aktif menulis, sembari memotret. Ga bs
hilang dan ga mgkn gw tinggalin dunia itu. Semua gw tumpahin, mksdnya, apa yg
mau gw tulis ya, ke website gw itu.
Akun SB, wartawan senior: Ada ajang awarding yang jurinya mengatas namakan
wartawan. Tapi juga di isi kalangan bloger dan lucuntya si bloger nggak bisa
nulis brita. Pintere ngemeng sebakul, jd gw kasih julukan bloger media cangkem.
kalau bloger bisa nulis ga papa...ini
pintere ngemeng doang.
DM komentar lagi: Keprihatinan gw, alaaaah sok prihatin gitu, hahahaha.
Iya, blogger emang tergantung isi tulisannya. Bisa nulis apa ga? Ade
"isi"nye kagak tulisannye? Tapi sebagai sebuah "bidang baru",
yang lantas menjadi sebuah "profesi", dg segala perllaku
"khas"nya ...
Akun ES, wartawan senior: Lha, untuk menghidupi
Blog-nya ya seorang blogger harus nulis, kalau perlu setiap hari sebagaimana
koran harian; kalau tidak blog-nya akan terisi tulisan lama yang tidak
diganti-ganti.
Akun CML: Blogger itu menyibukkan diri sendiri.. Wartawan itu
profesi..jiahhhahaaa
DS komen lagi: Dan menghasilkan...
Akun MS, wartawan senior yang sekarang punya agency manajemen artis: Blog
muncul, beken dan mulai dibutuhkan seiring perkembangan jaman. Tp ya tetep hrs
bs menulis yg baik dan benar.
Komentar ditutup oleh KY: Bisa juga
dibilang wartawan sebab mereka juga memberikan pemberitaan kejadian apapun itu
yang masyarakat sebelumnya tidak tau jadi tau.
Jika di sebuah event, wartawan dan blogger memang menyatu. Tapi jika ada
yang jeli dan mengerti seluk beluk kedua profesi itu, pasti sudah bisa
membedakan mana wartawan, mana blogger.
Ini coba gue rangkum dari pengamatan gue ketika mengikuti beberapa acara,
terlepas gue saat itu menjadi blogger
atau wartawan:
1. 1. Blogger gemar
banget potret sana sini, terutama selfie dan foto bareng-bareng, Hahaha. Pas
jadi blogger, gue jadi ikutan lenjeh foto-foto terus dengan wajah dipasang
seimut mungkin. Lolss..
Wajar, itu kebutuhan
mereka untuk menunjang tulisan dan sebagai barang bukti kepada pembaca, “nih
gue beneran datang ke event itu.” Jadi pembaca tahu, kalau blogger menulis dan
memberikan refrensi sebuah produk dengan jujur dan sesuai pengalaman.
Sedangkan wartawan,
lebih ke foto produk atau narasumber. Dalam penulisan wartawan lebih kepada
memberikan informasi, bukan hanya dari produk tapi dari orang di belakang
produk itu sendiri.
2. 2.
Coba perhatiin deh, jika sedang jumpa pers, blogger serius banget fokus ke gadget (maaf ya, aku nulis autis akhirnya dicoret) Karena mereka menulis kutipan dan omongan narsum lewat
gadget. Atau mereka sibuk nge-buzz di akun medsos seperti Twitter dan
Instagram, terkesan mereka lagi cuekin narsum yang sedang ngomong panjang kali
lebar.
Waktu itu, gue yang
datang sebagai blogger berasa jadi ‘beda’ sendiri karena masih setia menulis di
notebook. Lagian jari gue pegel bo kalo ketak ketik, belom lagi kalau
android,,...hadeuhh bikin pengen gigitin pinggiran korsi.
Kalo wartawan terbiasa
dibekeli notebook atau alat rekam. Nah ini bedanya, buat wartawan, mengutip ,
mendengarkan narsum bicara hal yang sangat penting. Karena ketika mendengar dan
mencerna, otak wartawan lagi muter, angle tulisan apa yang menarik dari acara
itu, tentunya yang bikin berbeda dari media lain. Wartawan harus jeli mencari
tulisan berita dari event tersebut.
Sedangkan blogger, gak
perlu itu. Yang membedakan mereka adalah gaya penulisan, yang tentu sesuai
karakter masing-masing. Gak perlu menggunakan kalimat bahasa Indonesia baku.
3. 3.Narasumber terlihat lebih dekat, lebih nyaman dan
lebih kayak temen ke wartawan dibanding blogger. Kenapa?
Usai jumpa pers,
wartawan pasti akan melanjutkan wawancara face
to face ke narsum. Mereka akan menggali informasi dari narasumber sehingga
akan ketemu angle yang menarik.
Nah, di sini narsum
harus hati-hati bicara, karena kalau keceplosan, akan dikutip wartawan dan bisa
menjelekkan nama dia atau brand. Kecuali jika dia ngomong, “off the record.”
Seringnya bertemu dan
bicara face to face tentunya makin mendekatkan wartawan dengan narasumber.
Apalagi jika di luar event, wartawan akan minta konfirmasi dan klarifikasi soal
sebuah isu, dan tentunya akan kontak narsum itu demi kepentingan isu yang
sedang berkembang.
Sedangkan blogger,
terbilang pasif. Mereka akan menulis jika diundang, diminta job review atau
content placement. Blogger gak perlu menggali isu, nggak perlu mencari angle
tulisan berbeda, mereka hanya perlu menulis produk atau brand saja, sesuai gaya
penulisan mereka.
Menurut gue, blogger bisa
dibilang ‘pengadopsi awal’ sebuah produk yang mampu mempengaruhi netizen untuk
membeli atau tidak sebuah produk. Setuju
gak?
4.
Agency, narsum, perusahaan, pengusaha, pemilik produk
atau brand tidak perlu ‘sok kenal sok dekat’ dengan
blogger.
Karena jika ada
blogger yang ‘pasang tarif tinggi, mereka bisa mencari blogger lain. Blogger
sekarang jumlahnya ribuan cuy , meski memang ada beberapa alasan blogger itu memasang
tarif tinggi karena mereka memiliki follower, viewers, rating dan alexa yang
baik.
Tapi menurut gue, agency
bisa mencari blogger lain dengan alexa dkk yang
kualitasnya tak jauh berbeda tapi dengan harga sedikit lebih murah. Toh, gak menjamin juga kalau blogger mahal itu bisa mempengaruhi pembacanya untuk membeli produk yang dia tulis.
Sedangkan jika dengan wartawan, sebuah perusahaan atau seorang narsum perlu SKSD dengan media tertentu. Kayak
Kompas, Tempo, Media Indonesia, The Jakarta Post, dan lainnya itu bisa dibilang
media ‘kelas atas’ yang banyak sekali masyarakat percaya dengan tulisan
wartawannya.
Karena media itu memiliki standar sendiri ketika merekrut seorang wartawan. Wartawan di media tersebut harus
melalui beberapa uji coba sehingga layak diterima. Nggak asal-asalan, jadi
wajar jika perusahaan SKSD dan perlu banget jika ditulis oleh media itu. Gicccuuu...
5. 5. Hhhhmmmm....apalagi
yaaa, udah itu dulu deh. Jadi blogger itu wartawan bukan?
J
J
Silahkan mentemen blogger dan lainnya yang
mau komentar dan nambahin. Santun yakss, Maacihh
Alia Fathiyah