Tulisan di Blog bisa Dibukukan? Baca Ini dulu


Apakah bisa seorang blogger membuat buku? Bisa banget. Meski sekarang ini banyak orang lebih memilih membaca lewat android atau laptop, tapi masih banyak pula orang yang mencintai lembaran kertas yang dibungkus hingga menjadi buku.

Membaca di internet tidak sama dengan membaca buku. Buku jauh lebih nikmat dibaca, di mana saja, dan kapan saja. Buku tak perlu baterai dan akses internet seperti halnya iphone atau ipad, dan ukuran buku bermacam-macam. Selain itu, sebuah buku rata-rata sudah ditangani oleh tim editor yang membuat tulisan itu menjadi renyah untuk dibaca.

Nah, lantaran itulah, saya semangat untuk datang ketika BloggerCrony membuat event Blogger Hangout7.0 bertema Blog to Book. Workshop gratis #BloggerHangout7.0 kali ini kita menelusuri rahasia menerbitkan buku dari blog.


Pembicaranya kece, blogger, penulis  dan editor buku Ang Tek Khun @angtekkhun1 yang sengaja datang dari Yogyakarta ke Jakarta. Acara yang lokasinya di gedung Cikini Gold Center, lantai 3 Foodcourtnya berjalan menyenangkan dan menambah pengetahuan.

Nah, kalau boleh kritik sedikit, sebaiknya acara seperti itu jangan di foodcourt. Tahu sendiri bagaimana foodcourt, ruangannya lepas karena berbaur dengan pedagang dan counter makanan. Suara nara sumber jadi terdengar kecil karena dicampur kegaduhan orang lain. Selain itu saya lihat banyak peserta tidak fokus mendengarkan narsum, hanya peserta yang duduk di bagian depan saja yang bisa menerima materi secara lengkap. Padahal materi yang disampaikan penting banget ditulis dan disebarkan di blog.


Meski begitu, acara ini berlangsung lancar walau waktunya molor cukup panjang dari jam yang sudah ditentukan.

Ang Tek Khun menjelaskan bagaimana industri perbukuan di Indonesia selama ini berjalan. Menurutnya, sebuah buku akan lancar dan laku itu tergantung tiga orang, yakni: penulis, editor dan marketing (distributor).

Menurutnya, jika sebuah buku sudah diterbitkan, dalam waktu tiga bulan belum terlihat hasilnya, dan penulis harus sabar menunggu kabar apakah bukunya laku atau tidak. Selain itu untuk membuat buku harus disiapkan sejak awal, apa isi buku yang harus ditulis, bagaimana bahasanya, mengincar pembaca usia berapa. Banyak penulis yang gagal menulis sebuah buku karena proses penulisan yang panjang, bisa sampai bertahun-tahun.

"Musuh dari penulis itu adalah diri sendiri," kata Ang Tek Khun.

Menurutnya, ada tiga jenis penerbit yang perlu diketahui penulis jika ingin membuat buku:

1. Penerbit Mayor:  Itu penerbit besar dan sangat sulit menembusnya jika kita punya karya. Banyak penulis yang antri dan kecewa kalau naskahnya ditolak oleh penerbit dan dikembalikan. Contohnya saya, Lol. Saya pernah nekat dan pede mengirim naskah novel ke Gramedia, meski kenal sama editornya, tetap saja naskah saya tidak layak untuk diterbitkan. Hikss.

2. Penerbit indie: Ini penerbit independent. Banyak teman saya yang menerbitkan bukunya sendiri. Misal, buku puisi, novel atau kumpulan cerpen. Biasanya, mereka diminta untuk mengeluarkan uang sendiri untuk mencetak buku. Selain itu, untuk distributor atau pemasaran mereka lakukan sendiri. Teman saya biasanya berjualan di online, di media sosial yang dia miliki. Jika ada yang minat membeli, misal 100 buku, baru dia akan mencetaknya. Rugi, jika kita mencetak lebih dulu baru dijual. Atau pemasaran yang dia lakukan yaitu berjualan di event-event remaja, misal acara sekolah (jika bukunya tentang remaja), festival remaja, dan semacamnya.

Seorang teman pernah cerita, dia mengeluarkan dana Rp 11 juta untuk menerbitkan sebuah buku novel. Jika satu buku hanya mengeluarkan modal Rp 10 ribu dan dia menjual Rp 30 ribu, tentu dia bisa untung. Masalahnya adalah jika buku itu tidak laku, apa yang akan dilakukannya?

3. Percampuran mayor dan indie: Ini biasanya ada perjanjian di antara penerbit dan penulis buku. Penulis diminta untuk membeli buku itu sejumlah eksemplar dan dibantu untuk menjualnya.

Saya mau berbagi pengalaman sedikit ketika menulis dua buku, yang satu indie dan yang satunya dengan penerbit mayor. Pengalaman ini semoga ada manfaatnya dan ada gambaran, jika ada blogger yang kebelet karyanya dibukukan.

Pertama buku pesanan dari Pak Oesman Sapta Odang. Beberapa tahun lalu, anaknya menikah secara mewah dan ditayangkan di channel Fashion TV yang mengudara di 200 negara di dunia. Pak Oso (biasa disapa) meminta saya untuk dibuatkan sebuah buku soal itu.


Nah, ini yang namanya indie. Saya bersama suami yang menulis, mengedit (suami sih bagian edit, heheheh) riset buku tersebut, wawancara semua nara sumber yang terlibat. Ada Anne Avantie, Suryanto, Rina Gunawa, Mien Brutus dan tokoh-tokoh politik yang hadir untuk minta komentarnya seperti alm Taufik Kiemas, Wiranto, Hatta Radjasa, dll. Semua kami lakukan sendiri agar buku bisa sesuai yang diinginkan.

Sedangkan untuk lay out dan foto saya pekerjakan teman yang ahli di bidangnya. Lalu, kami mencari percetakan yang bagus untuk mencetak bukunya. Itu semua dilakukan sendiri, karena buku pesanan tentu dananya dari Pak Oso. Sayangnya, buku tersebut hanya dikonsumsi secara pribadi. Buku diberikan kepada saudara, teman dan sahabat saja.

Tapi dari sini saya jadi tahu bagaimana membuat buku secara independent itu ribet bin mumet meski bayarannya lumayan.


Yang kedua dari penerbit mayor yaitu buku Tina Toon, berjudul: Tina: Metamorfosis Seorang Tina Toon.
Awalnya Tina ingin pengalaman dan kisahnya yang mempu menurunkan berat badan secara drastis dibukukan. Dia ingin pengalamannya itu dijadikan motivasi bagi remaja lain yang berambisi kurus seperti artis pujaan.

Kebetulan saya kenal dengan salah satu editor Gramedia, lalu kita bertemu dan meeting beberapa kali untuk membicarakan konsep serta kontent. Lalu saya menulislah. Sisanya, pihak Gramedia yang bekerja, saya hanya tinggal menunggu kabar saja, gak pusing mengurus ini itu. Sedangkan soal bayaran saya tidak mau berhubungan dengan royalti yang jumlahnya kecil banget.  Padahal bukunya sempat masuk di jajaran best seller di Gramedia lho (Alhamdulillah).

Tapi menurut saya, jika kita sudah siap membuat buku, jangan berharap mendapatkan uang besar. Karena royalti yang kita terima sangat kecil, hanya 10 persen. Seorang teman mengaku dia menerima royalti dari satu buku tidak sampai goceng alias Rp 5 ribu. Berbeda jika kita membuat buku yang akhirnya bisa dipakai untuk film. Misal, Dee Lestari, Raditya Dika, Asma Nadia, Alberthne Endah, nah mereka mendapatkan uang itu dari penulisan skenario dan karya kita dijual untuk ke film. Baru deh bisa tajir! Di luar itu, kita membuat buku hanya sebuah prestige, nama kita tertera di buku itu sesuatu yang amazing karena bisa bertahan lama dan kebanggan tersendiri.

Nah, dari sini, jika seorang blogger ingin menulis buku tentu bisa banget, dengan beberapa jalur yang sudah ditulis tadi. Silahkan memilih.

Buku Semakin Tidak Laku

Ang Tek Khun mengakui jika semakin lama buku semakin tidak laku karena zamannya internet. Tapi, mari kita tengok ke toko buku, masih banyak ratusan buku baru muncul setiap harinya. Jadi peluang untuk membuat buku masih besar.

Menurutnya, penerbit memiliki daftar jenis buku apa saja yang laku dan memiliki rating tertinggi.

"Jadi jangan kecil hati jika masih ingin membuat buku, peluang Anda masih besar," katanya.
Lebih lanjut Ang mengatakan, editor penerbit itu tanpa kita ketahui menjadi stalker para blogger. Jika dia menemukan blog yang isinya menarik, bisa jadi editor tersebut akan menghubungi si blogger dan menawarkan untuk membuat buku. Waahhh, silahkan berharap dan berdoa.

Penerbit Moka Media



Penerbit Moka Media ternyata sangat terbuka jika ada blogger yang ingin dibukukan isi blognya.
Penerbit ini hadir dengan beberapa petingginya.

1. Sandy Fahamsyah (Pemimpin Redaksi Bintang Wahyu)
2. Endro Wahyono (Redaktur Pelaksana Wahyu Media)
3. Adeliany Azfar (Editor Moka Media).

Moka Media menawarkan para blogger untuk mengirimkan naskah secara lengkap (jangan nangggung), sekaligus sinopsis. Jadi editor bisa memahami apa isi naskah tersebut. Biasanya, Moka Media akan menunggu maksimal sampai 3 bulan. Jika tidak sesuai, maka naskah akan dikembalikan.

Nah ini cara pengiriman naskahnya, gudlak!

Menariknya, Moka Media juga melibatkan penulis untuk menjadi partner dengan ikutan memasarkan bukunya. Penulis ikut mempromosikan buku tersebut, kemanapun, bahkan keluar kota. Meski penulis tidak dibayar selama promo, tapi Moka Media akan membayar semua transpot dan akomodasi penulis.


ALIA


  

9 comments

  1. Wah keren mbak dah menghasilkan karya. Mau dong diajari :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heheheh, goal aku sih bikin buku dari pikiran sendiri misalnya novel, kalo dua ini lebih ke semi bio, maacih komennya

      Delete
  2. Keren Mbak sharing pengalaman nerbitin bukunya. Jadi pengen nyoba juga suatu saat.hehe..
    Tapi kalo sampe tembus penerbit mayor rasanya bangga banget sih walau kecil ya royaltinya....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, punya buku dengan nama sendiri itu bikin bangga. Gudlak ya

      Delete
  3. tengkiu infonya loh mbk, aku jg berencana pgn nerbitin buku, doain yak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Macamaaa, semoga bukunya cepet jadi dan laku ya, gudlak

      Delete
  4. Seru ya perjalanan membuat buku, dan ternyata ada beberapa cara untuk menerbitkan buku~ Keren mak tulisannya. Btw, kira-kira perlu jam terbang berapa banyak ya biar bisa kayak penulis yang mapan itu? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Deee, dirimu bisa banget nulis buku, blog nya kece bangeettt. Mungkin kalau isi bukunya menarik, baru bisa tajir dan dijadikan film, gudlak dee

      Delete
  5. Haihai...iya royalty buku itu kecil. Ada penerbit yg ngasih DP (25% dr total buku yg dicetak), ada yg nggak ngasih. Jadi...buku laku dulu, baru dpt royalty. Btw...tapi, saya ga bosan nulis buku tuh. Masih belajar gimana promosiin spy laris, antara lain melalui blog dan medsos. Hehe...saya malah kebalik, bikin blog untuk promo buku...

    ReplyDelete