Udah lama pingin menulis tentang kakek sendiri, Tamar Djaja. Kenapa beliau? Karena beliau adalah orang penting banget untuk saya, keluarga, dan tentu saja Indonesia (silahkan searching google ketika nama beliau). Saya mencoba mengupas dari sisi kenangan waktu kecil, mungkin ditulis untuk beberapa seri. Semoga mood ini terus bertahan membaik. Amin, doain.
Bangga. Ketika banyak yang mengapresiasi
apak dengan tulisan di berbagai media. Bagaimana nggak, apak (biasa saya
memanggil beliau), adalah seorang pahlawan tanpa nama, seorang pejuang dan
perintis kemerdekaan Indonesia. Saya malah terkaget-kaget sendiri, ketika
membaca tulisan mereka tentang apak, mereka lebih banyak tahu daripada saya,
cucu kandungnya sendiri. Sedih. Kadang saya merasa sedih.
Meski sedih, tapi juga bangga. Karena
dari semua keturunan apak, hanya saya satu-satunya yang juga menjadi penulis
dan wartawan. Meski (tentunya), prestasi dan tulisan saya tidak sebagus beliau.
Saya mah sapa atuh, nggak ada apa-apanya dibandingkan kakek tersayang itu.
Apak punya anak delapan, semuanya nggak
ada yang menjadi penulis, nggak ada yang menjadi wartawan. Lalu apak punya cucu..(berapa
yaa...hmm. ngitung dulu deh. Duh, nggak apal. Soalnya yang ada di Sungai Jariang,
Padang belum terlacak radarnya nih, Lols). Semua cucu apak cuma saya yang suka
menulis, yess.
Selain dikenal sebagai penulis, wartawan, pejuang, pimpinan
redaksi, sastrawan dan lainnya, apak itu sering banget ceramah agama di mana-mana. Apak
seorang alim ulama. Kalau ceramah, dresscodenya kemeja plus
jas, sarung, peci dan syal dililitkan di leher.
Saya termasuk sebentar mengenal apak.
Apak wafat tahun 1984, ketika usia saya sekitar 9 tahun.
Jadi gini masa kecil saya bersama apak
yang masih ada di dalam kenangan.
Jadi apak dan amak tinggal di sebuah
rumah di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, rumah itu bisa dibilang rumah induk.
Selain apak dan amak, yang tinggal di situ dua om saya yang belum menikah, ibu
saya dengan 3 anaknya (termasuk saiah sodara-sodara) dan dua sepupu yang
dititipkan di situ.
Kebayang ramainya rumah itukan. Yang saya
ingat, hampir setiap hari apak selalu mengetik dengan mesin tiknya yang ditaruh
di pojokan ruang tamu. Jadi ruang tamu yang lumayan gede itu, diisi dengan
lemari buku, pojokan meja apak yang ada mesin tiknya.
Apak itu orang yang sabaaaaarrrrr
bangeettt. Nggak pernah seumur-umur lihat apak marah dan berbicara dengan suara
nada kencang dan tinggi. Apak kebanyakan diem, kalau ngomong seperlunya, dia hanya mengamati dari kursi goyangnya di depan TV. Setiap habis maghrib, apak pasti membaca Al Quran yang diberi seorang temannya, yang membuat Al Quran itu. Tebal dan berwarna kuning. Jika sudah khatam, apak akan menulis catatan di akhir lembaran Al Quran (gue jadi ikutan kayak gitu hehehe). Saya waktu kecil sampai
berfikir apak itu mirip Nabi Muhammad, saking sabarnya. Dan apak adalah my
‘first love’(biasanya anak perempuan itu first love ke ayahnya sendiri, tapi gue ke
kakek gue sendiri. Sorry pap, you are not my first love, Lolss).
Apak itu suka nyeletuk pakai bahasa Padang yang lucu, bikin kita yang mendengarnya ngikik ketawa. Dan...(tapi sampai detik ini gue belum
menemukan orang sesabar apak, entah kemana orang-orang sabar itu di jaman
sekarang, udah punah kelles).
Apak, amak, madang, kakek uban, kakek otista, kakek yan dan nyokap paling kecil dan cantik (kek gue) |
Salah satu kesabaran apak itu adalah,
ketika ada seekor kucing dengan tidak sopannya beranak di lemari buku apak. Iye
benner, beranak itu kucing nggak pake ijin. Jadi buku-buku apak itu penuh
dengan darah hasil beranaknya si kucing. Kebetulan kaca lemari bukunya udah ada yang
pecah, jadi si kucing sering menyelinap bolak balik ke sana. Tapi reaksi apak
biasa aja, nggak marah, nggak emosi. Dibersiin itu buku-buku yang ada darahnya sendiri
tanpa nyuruh anaknya.
Kesabaran apak yang kedua adalah. Apak
lagi serius ngetik di meja kerja. Gue yang waktu itu pengen banget jajan
(namanya anak-anak boo), maksa dan merengek minta jajan.
Gue: Pak minta duit mau jajan. Cepek aja
(kayak Pak Ogah minta cepek duluuu hehehe. Jaman dulu tahun 80-an, cepek itu
gede lhooo.)
Apak: Nggak ada uang kecil
Gue: (maksa banget) Ada pak ntar
kembalian.
Karena gue maksa, apak merogoh kantong dan
keluarin duit seribuan, selembar. Gue jajan ngider warung di sekitar rumah,
beneran nggak ada kembalian. Akhirnya pulang dibalikin duit seribu ke apak.
Apak diem aja sambil terus ngetik, nggak bilang: “Benerkan nggak ada
kembalian.” Hebatkan kakek gue.
Baca: Wikipedia Tamar Djaja
Kesabaran apak ketiga:
Di rumah ada 5 anak kecil yang tengil bin
bandel. Gue, abang dan adek gue yang laki serta dua sepupu gue yang cewek. Namanya
kakek-kakek kalau tidur mulut menganga dong, apalagi kalau udah kecapean. Kita
nih, berlima, emang bener-bener deh jadi anak kecil. U know what, itu mulut
apak kita masukin garem dan gula plus kopi sodara-sodara. Yes, garem, gula dan kopi ke dalam
mulut apak yang menganga, sambil cekikikan. Pas udah dimasukin gula garem kopi, kita
kabur lari keluar rumah. Tetep sambil cekikikan. Pas pulang nggak dimarahin tuh. Itu anak 80-an lhooo, kalah anak jaman sekarangkan..
Lolss
Apalagi ya, banyak banget sih kesabaran
apak yang gue rasain. Bersambung yess...
Sedikit Profil Tamar Djaja:
Lahir di Sungai Jariang, Padang Sumatera
Barat tahun 1913 dan wafat tahun 1984. Buku Rohana Kudus, pahlawan wanita asal Minang adalah buku pertama
kali yang dibuat beliau. Juga ada buku Soekarno-Hatta, buku cerpen, buku-buku
agama, buku politik dan kisah-kisah Nabi bahkan juga ada buku psikologis dan
konsultasi: Tanya Jawab Perkawinan dan Tuntutan Perkawinan& Rumah
Tangga Islam.
Tulisan beliau sering muncul di majalah seperti Sabili,
dll.
Sejak 1930 mulai kegiatan menulis. Beliau aktif di gerakan
pemuda dan partai politik. Gerakan pemuda Himpunan Pemuda Islam Indonesia
(HPII), partai politik Persatuan Muslim Indonesia (PERMI), juga pernah menjadi
anggota pengurus besar di keduanya.
Tamar Djaja pernah menjadi pemimpin majalah
HPII Pahlawan Muda dan majalah PERMI "Keris'' di Bukitinggi. Pada 1939-1949 mendirikan penerbit Penyiaran Ilmu di
Bukitinggi. 1950-Memimpin majalah "Kursus Politik" bersama M Dalyono
di Jakarta 1950-1953 Memimpin "Suara partai Masyumi" 1953-Memimpin
"Mimbar Agama" Depatrtemen Agama 1954- Memimpim "Penuntun"
Dep Agama 1957-Memimpin Daulah Islamiyah Ketua Umum Himpunan Pengarang Islam
1968 Perintis Kemerdekaan. Telah menulis buku hingga 155 buah.
*Makasih yang udah baca dan komentar.
Alia Fathiyah atau Aal, cucu apak di urutan ke 5 apa 6 gitu.
Bangga banget emang mempunyai orangtua yang dulunya pejuang.
ReplyDeleteAlhamdulillah pak tamar Jaya melahirkan karya-karya yang insyaallah manfaat sampai hari kiamat. Aku cuma ingin mbk bukunya bisa tdk diterbitkan lagi dengan versi terbaru. Karna sayang jika tetap di versi lama dan tertinggal. Semoga anak cucu bapak tamar Jaya senantiasa selalu melestarikan tinggalan emas tulisan bapak tamar amin. Dan semoga bermanfaat selalu.
ReplyDeleteSaya ingin mengoleksi buku2 bapak tamar Djaja, bagaimana caranya, hanya sedikit yg saya temukan. Barangkali uni, cucu Pak Tamar, bisa membantu saya..
ReplyDeleteAlhamdulillah kalau ada berminat dengan karangan apak, maaf saya juga sedikit buku-buku apak, seperti yang saya tulis hanya sedikit buku tersisa. Bahkan kalau mas atau mbak ada saya juga berminat untuk membeli, terimakasih
DeleteMinta informasinya kirim via wa ke 081238207417 ya, saya baru ada satu bukunya beliau. Barakallahfikum
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMasyaAllah, saya kesusahan mencari data tentang beliau. Padahal karya beliau banyak dan menjadi salah satu dari 10 penulis terkemuka di masanya berdasarkan angket 1957 oleh himpunan pengarang Islam
ReplyDeleteBisa saya melihat angketnya pak? Insya Allah nanti akan dibuatkan biografi beliau yang ditulis sendiri tapi belum sempat diterbitkan. Terimakasih karena sudah membaca soal alm apak saya
Delete