Tak Semuanya Indah di Pantai Sawarna, Banten


Untuk berlibur long weekend sudah kebayang semua lokasi liburan pasti penuh dan macet. Mau ke Bandung, ngebayanginnya udah capek duluan. Nggak long weekend aja Bandung udah sesak, apalagi sekarang. Sama juga dengan Bogor, bahkan niat mau ke Yogyakarta, kiddoss emoh karena ngebayangin macet di Cipali. Cek kereta, sudah penuh. Lalu saya iseng, browsing. Kebaca ada pantai di Banten yang kece abis. Kalau ke Anyer dan Carita udah khatamlah, rame, macet dan harga digetok mahal.

Lalu tujuan mengarah pada Pantai Sarwana, Desa Bayah Banten. Saya mikir saat itu,  sama-sama Banten pasti nggak jauh nih. Saya di Serpong, Tangerang Selatan dengan provinsi Banten. Tapi setelah dijalani ternyata jauh saudara-saudaraaa...


Berlibur dengan teman-teman, berkonvoi lima mobil, bisa dibayangkan tidak mudah.  Banyak yang ikut, banyakan berhenti, ada yang nyasar, ada yang isi bensin atau ke toilet. Perjalanan dimulai pukul 07.00 pagi melewati  Serang. Menggunakan waze, agar tujuan tidak nyasar dan sampai di lokasi dengan pas. Karena hari Jumat, perjalanan sempat berhenti untuk sholjum.

Usai sholat Jumat, kita mencari tempat makan enak dipinggir pantai. Adalah Pasput Beach, lokasi makanan yang menyediakan ikan bakar dan teman-temannya. Mereka menyediakan saung di pinggir pantai yang terlihat banyak batu karang nan indah.


Harga makanannya standar, Ikan kakap bakar Rp 70 ribu, karedok di piring kecil Rp 6 ribu dan mangkok Rp 10 ribu. Rasanya, lumayan secara lapar sambil menikmati laut dan hembusan anginnya.

Perjalanan kembali dilanjutkan yang ditemani rintikan hujan. Jalanan menuju Sawarna, sejak masuk Serang,  termasuk lancar dengan jalanan mulus. Jalanan dibeton dan tidak macet. Tapi semakin mendekati lokasi, jalanan mulai berbatu, menurun dan menanjak. Tak lama terlihat kanan kiri jalan mobil diparkir dan banyak orang berdiri atau duduk. Rumah-rumah penduduk terisi orang dan mobil. Ternyata itu homestay, rumah penduduk yang disewa.


Lalu kita berbelok masuk ke sebuah hamparan tanah luas, terlihat banyak mobil terparkir. Di pintu masuk gerbang tertulis "Selamat Datang ke Lokasi Wisata Sawarna". Untuk masuk dikenakan biaya Rp 25 ribu.


Ternyata, itu tempat parkir turis yang ingin main di pantai Sawarna. Untuk menuju pantai kita bisa berjalan atau menggunakan ojek ke arah dalam. Belum ada akses mobil untuk sampai ke dalam. Yang mengerikan adalah ketika melewati jembatan gantung, lantai jembatan dibuat dari besi tapi pegangan pinggirnya hanya tali. Saya yang menggendong baby dan menggunakan ojek, tak henti berdoa melewati jembatan itu. Kebayang, habis hujan, licin, jika tukang ojeknya salah menginjak saja, bisa terlempar keluar jembatan.

Sebenarnya ada dua jembatan, dekat Indomart, tapi agak jauh. Jembatannya lebih 'bermartabat' dan nggak bikin jantung copot.

Setelah melewati jembatan, banyak dijumpai rumah penduduk, kontrakan atau kost yang disewa, dan semuanya penuh. Sayangnya, saya mendapatkan penginapan yang memprihatinkan, karena semua tempat sudah penuh. Sebuah rumah kecil yang sederhana dengan kamar yang memprihatinkan dengan harga Rp 200 ribu. Jadi malamnya saya pindah ke tempat sepupu saya yang berhasil mendapatkan satu kamar kost luas dengan harga Rp 450 ribu.


Keesokan subuh saya sudah tiba di Pantai Sawarna yang terletak di desa Bayah, Banten. Dari kejauhan sudah terdengar semburan ombak kencang yang tinggi. Melihat Pantai Sawarna mengingatkan akan Pantai Kuta, Bali. Tapi ini tentunya lebih bersih meski juga ada sampah berserakan. Ombak besar lantaran pantai itu langsung menuju ke Samudera Hindia, dan biasanya dijadikan tujuan surfing bagi para turis bule.


Pantai Sawarna terlihat indah, meski pasirnya bukan berwarna putih. Bisa dilihat dari foto-foto yang saya ambil dengan handphone standar, bukan dengan kamera kece standarnya fotografer. Ombaknya menyeramkan, tapi cocok untuk surfer. Berkali-kali, penjaga pantai meneriakkan pengunjung untuk berhati-hati dan tidak berenang ke tengah karena melihat ombaknya yang tinggi.


Di sepanjang pantai terlihat saung-saung. Sejak hari pertama long weekend, saung itu sudah penuh dengan pengunjung yang menyewanya. Bayangkan serunya jika menginap di saung pinggir pantai.
Jika sedang peak season, saung dibandrol harga Rp 200 ribu, jika sedang sepi, pemiliknya mau saja dibayar Rp 50 ribu. Banyak yang menginap di saung. Di belakangnya juga berjejer warung dan toilet umum. Di sana aman, tidak ada yang aneh-aneh, dan saya amati para pemilik warung di pinggir pantai sadar betul, keuangan mereka didapat dari para pengunjung Pantai Sawarna.


Untuk ukuran lokasi wisata, harga makanan tergolong tidak mahal. Sarapan di pinggir pantai ditemani nasi uduk + telor hanya Rp 10 ribu, teh panas Rp 3000, kelapa muda batok Rp 10 ribu. Air mineral Rp 5 ribu dan ukuran besar Rp 10 ribu..

Tak akan habis-habis menikmati indahnya Pantai Sawarna. Semakin siang, pantai semakin ramai, panas teriknya matahari menyengat, si baby sudah tidak betah lagi dengan panas. Akhirnya saya angkat kaki dari Pantai Sawarna dan siap-siap pulang ke rumah.


Note:
Ini catatan penting untuk saya pribadi, mungkin juga bisa untuk pembaca.
- Mencari penginapan yang lebih 'manusiawi', lebih besar, bersih dan ber- AC. Untung saya diberikan kontak si tukang nasi uduk, yang dipanggil Mama Zahra. Jadi bisa pesan lewat dia soal penginapan, jika suatu saat nanti kembali.
- Tidak peak season lagi
- Menunggu si baby sudah besar, ternyata rempong punya baby jalan jauh-jauh. Adatnya cakep beneerrr.
- Persiapan lebih detil
- Mungkin akan memilih menginap di hotel di luar Kampung Bayah, lalu pagi hari bisa ke Pantai Sawarna hingga sore lalu pulang ke rumah.
- Membawa kaca mata hitam, payung, lotion, dan air minum.

ALIA F

No comments