Ibu Bekerja, Kenapa Susah Tinggalkan Pekerjaan demi Anak

Beberapa minggu terakhir banyak teman-teman (baca: emak2) bekerja yang ingin mengikuti jejak saya, menjadi freelancer alias keluar dari kantor dan bekerja di rumah sambil urus anak. Mereka kebanyakan masih berat untuk meninggalkan pekerjaan karena banyak alasan, seperti takut nggak dapat penghasilan lagi, takut kurang duit untuk membiayai hidup, takut nggak eksis, takut mati gaya di rumah doang, banyak ketakutan-ketakutan lain yang manusiawi.

Hal tersebut pernah saya alami pada 2011, ketika saya memutuskan resign dan mengajukan pensiun dini dari harian Rakyat Merdeka. Tempat saya bekerja sejak 1999 menjadi wartawan di desk hiburan. Saya beneran mati gaya, bingung mau ngapain. Dua anak saya yang laki semua bikin saya terbelalak. Mereka berdua ajaib sekali kelakuannya, sangat aktip, kreatip bikin emaknya elus dada sekaligus bikin saya bangga memiliki dua anak laki yang nggak bisa diam, kepoo banget.

Meski sudah di rumah saja, ada beberapa job jadi media relation. Tapi tetap saja nggak bisa memenuhi hasrat saya untuk kerja dan berkumpul dengan teman-teman di lapangan sambil liputan. Enaknya jadi wartawan itu, ya di bagian ini. Nga-gaul ketemu teman dari berbagai media sambil haha hihi, bahkan sambil ngegosipin artis. Pokoknya hidup nggak jauh dari ghibah (*istigfar deh gue).

Waktu itu, saya juga punya alasan idealis lain berada di rumah, yakni bikin novel! Nyaris setiap hari duduk manis di depan laptop, tapi ternyata tak semudah yang dibayangkan. Satu paragraf pun nggak ada yang jadi itu novel.

Yang bikin saya mikir serius ketika nyokap ke rumah. Gerah liat gue ngomel-ngomel nggak jelas,  nyokap ngomong begini, "Sonoh kerja lagi, daripada di rumah marah-marah terus." hihihihi, nyokap ngerti anaknya yang satu ini, pecicilan alias nggak bisa diem (ketauan kan dari mana kiddos dapet kreatipnya itu di rumah?).

Saat itu, berasa jadi ibu yang durhaka pada anak. Masa, jadi ibu nggak sabar urus anak sendiri.
Entah kenapa, ini hasil dari iseng, pada  Februari 2012 saya mengirim CV ke Tempo dan berhasil gabung dengan grup Tempo Inti Media. Saya diperbantukan di Tempo.co dengan desk Seleb (lagi-lagi hiburan euy). Tempo yang terkenal serius dengan liputannya itu, ternyata nggak ngeh soal selebritas. Sampai ada beberapa teman menyebut saya profesor artis (ini terlalu hiperbola siiii hihihii).
Ternyata, Allah punya rencana lain dan mengabulkan doa saya untuk di rumah saja tapi harus melewati perjalanan panjang yang berliku. Pada 2014, Allah memberikan saya rezeki dengan kembali hamil. Kehamilan saya di usia yang tidak muda lagi ini (ehemm), ternyata saya harus bedrest karena flek tak berkesudahan. Bayangin, dari pertama positif hamil hingga menjelang persalinan, saya bedrest di rumah saja.

Kayaknya, saya dikasih 'bayangan' dulu, nih rasanya beginih gak kerja cuma tiduran. Ternyata, bedrest selama hami itu 'kepake' banget. Jadi saya sudah terbiasa berada lama di rumah tanpa bekerja. Lalu, setelah persalinan dan ada masalah sedikit sama baby, dengan Bismillah dan tekat yang kuat juga keyakinan, Maret 2015 saya mengajukan resign ke Tempo.

Mulailah petualangan menjadi ibu rumah tangga yang sebenar-benarnya. Selain itu saya juga udah kapok dan parno punya asisten rumah tangga. Capek ati, makan ati sama pembantu, kayaknya free banget nggak harus tanya sana sini soal pembantu.

Waktu pure urus baby ini, saya sempat merasakan jadi ibu yang egois untuk dua anak saya sebelumnya. Melihat bayi kecil, lucu, polos dan tak bisa apa-apa, tapi pengasuhan selama bekerja diberikan kepada asisten rumah tangga. "Gila ya, kok gue bisa setega itu dulunya mempercayakan pengasuhan ke orang lain, " kepikiran itu terus.
Dan seiring berjalannya waktu, entah kenapa sekarang ini nggak ada keinginan untuk kembali bekerja di kantor. Gue pernah dengar kata ustad, "Rezeki itu nggak ada hubungannya dengan pekerjaan." Dan gue rasa itu benar sekali. Kita berikan tugas terhormat itu ke suami sebagai pencari nafkah tunggal, Lolss (bener lho, itukan tabungan amal dia di akhirat nanti *ngeles).

Jadi, sekarang ini gue lebih tertarik jadi blogger, Kontributor untuk Tempo.co (lho, Tempo lagi?) tapi diberikan kebebasan sih, namanya kontri nggak terikat dong, dan ada beberapa teman yang ajak kerjasama untuk bisnislah, freelancer apalah, partneran media relationlah, tapi nggak ngoyo kayak dulu.

Sekarang semuanya dibikin santai, bisa  bebas melakukan apa aja tanpa harus melihat jadwal ngantor, dan bisa kapan aja dekat sama anak. Masih bisa nge-gaul sama temen, janjian di mol sambil nenteng baby, atau bahkan bisa kegiatan bermanfaat untuk dunia akhirat, ikut majlis taklim misalnya.

Kiddos jadi lebih banyak curhat ke emaknya, malah si abang yang udah ABG bisa gue jadiin temen curhat. Bukan dia yang curhat ke gue, tapi gue yang curhat ke dia, hahahahah kacau yakksss.
I love my life, meski mimpi untuk traveling keliling dunia belom kesampean. Tapi gue yakin, mimpi itu bisa terwujud. Entah kapan, doain ya guysss....

Jadi Ibu rumah tangga itu pekerjaan presticious (spelingnya bener gak), karena nggak semua wanita bisa menjalaninya. Benerkan?

No comments